PP No. 5 Tahun 2021 Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

Dian Hadi Saputra

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Jenis Peraturan Pemerintah (PP)
Entitas Pemerintah Pusat
Nomor 5
Tahun 2021
Judul Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Ditetapkan Tanggal 02 Februari 2021
Diundangkan Tanggal 02 Februari 2021
Berlaku Tanggal 02 Februari 2021
Sumber LN.2021/No.15, TLN No.6617, jdih.setkab.go.id : 321 hlm.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2O20 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/ atau kegiatannya.
  2. Risiko  adalah   potensi  terjadinya  cedera  atau  kerugian dari   suatu  bahaya  atau  kombinasi kemungkinan   dan akibat bahaya.
  3. Perizinan   Berusaha    Berbasis   Risiko  adalah   PerizinanBerusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.
  4. Perizinan  Berusaha   Untuk  Menunjang  Kegiatan  Usaha adalah  legalitas   yang  diberikan  kepada  Pelaku  U saha untuk menunjang kegiatan  usaha.
  5. Pemerintah  Pusat  adalah   Presiden   Republik  Indonesia yang  memegang  kekuasaan   pemerintahan   negara Republik Indonesia yang dibantu oleh  Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Pemerintah Daerah adalah  kepala  daerah  sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan  urusan   pemerintahan  yang  menjadi kewenangan daerah otonom.
  7. Kawasan   Ekonomi  Khusus  yang  selanjutnya   disingkat KEK   adalah   kawasan   ekonomi  khusus   sebagaimana diatur  dalam peraturan  perundang-undangan  di  bidang kawasan ekonomi khusus.
  8. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya   disingkat   KPBPB    adalah   kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana diatur dalam  peraturan  perundang-undangan  di  bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
  9. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut Administrator KEK adalah administrator sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomikhusus.
  10. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan KPBPB  adalah Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana     diatur     dalam     peraturan     perundang• undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
  11. Pelaku  Usaha  adalah   orang  perseorangan  atau  badan usaha  yang melakukan usaha  dan/ atau  kegiatan  pada bidang tertentu.
  12. Nomor   Induk  Berusaha  yang selanjutnya  disingkat  NIB adalah  bukti registrasi/pendaftaran  Pelaku Usaha untuk melakukan  kegiatan  usaha   dan  sebagai  identitas   bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan  kegiatan usahanya.
  13. Sertifikat Standar adalah pemyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
  14. Izin      adalah     persetujuan     Pemerintah      Pusat    atau Pemerintah  Daerah  untuk  pelaksanaan   kegiatan  usaha yang  wajib  dipenuhi  oleh   Pelaku Usaha  sebelum melaksanakan  kegiatan usahanya.
  15. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang undangan di bidang lingkungan hidup.
  16. Upaya  Pengelolaan  Lingkungan  Hidup  dan  Upaya Pemantauan  Lingkungan  Hidup  yang  selanjutnya disingkat   UKL-UPL   adalah   Upaya  Pengelolaan Lingkungan  Hidup dan  Upaya Pemantauan  Lingkungan Hidup  sebagaimana   dimaksud   dalam  peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan  hidup.
  17. Pengawasan      adalah       upaya     untuk      memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko  dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh  Pelaku Usaha.
  18. Usaha  Mikro dan  Kecil  yang selanjutnya  disingkat  UMK adalah    usaha    mikro   dan   usaha    kecil    sebagaimana dimaksud    dalam    Undang-Undang    mengenai     Usaha Mikro,  Kecil, dan Menengah.
  19. Usaha  Mikro,   Kecil,   dan  Menengah   yang   selanjutnya disingkat UMK-M  adalah usaha mikro,  usaha kecil,   dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang• Undang mengenai  Usaha  Mikro, Kecil,  dan Menengah.
  20. Klasifikasi  Baku  Lapangan  Usaha  Indonesia  yang selanjutnya  disingkat KBLI adalah  kode   klasifikasi  yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan  pemerintahan  di  bidang statistik.
  21. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi  Secara Elektronik ( Online    Single   Submission)   yang    selanjutnya   disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan  diselenggarakan  oleh   Lembaga  OSS   untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha  Berbasis Risiko.
  22. Lembaga    Pengelola    dan     Penyelenggara    OSS     yang selanjutnya disebut Lembaga  OSS  adalah lembaga pemerintah    yang   menyelenggarakan    urusan pemerintahan  di bidang koordinasi penanaman  modal.
  23. Penanaman     Modal     adalah      penanaman     modal sebagaimana  diatur  dalam  peraturan  perundang• undangan di bidang penanaman  modal.
  24. Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal asing sebagaimana     diatur     dalam     peraturan     perundang• undangan di bidang penanaman  modal.
  25. Dinas  Penanaman  Modal  dan   Pelayanan   Terpadu   Satu Pintu  yang selanjutnya  disingkat DPMPTSP  adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan   urusan    pemerintahan    daerah    di bidang penanaman modal.
  26. Hari  adalah  hari  kerja  sesuai  dengan  yang  ditetapkan oleh  Pemerintah  Pusat.
Berita Terkait :  PP No 78 Tahun 2021 Perlindungan Khusus Bagi Anak Pasal 1-7

Pasal  2

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko  meliputi:

  1. pengaturan  Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  2. norrna,      standar,     prosedur,     dan    kriteria     Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. Perizinan   Berusaha   Berbasis   Risiko    melalui    layanan Sistem OSS;
  4. tata    cara   Pengawasan   Perizinan   Berusaha    Berbasis Risiko;
  5. evaluasi  dan   reformasi    kebijakan    Perizinan   Berusaha Berbasis Risiko;
  6. pendanaan  Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  7. penyelesaian   permasalahan    dan     hambatan   Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;  dan

Pasal  3

Penyelenggaraan  Perizinan Berusaha  Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, melalui:

  1. pelaksanaan  penerbitan  Perizinan Berusaha  secara lebih efektif dan sederhana;  dan
  2. Pengawasan      kegiatan      usaha       yang      transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal  4

Untuk    memulai    dan   melakukan   kegiatan   usaha,    Pelaku Usaha wajib  memenuhi:

  1. persyaratan  dasar Perizinan Berusaha;  dan/ atau b.      Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pasal  5

(1)   Persyaratan  dasar  Perizinan Berusaha  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung,  dan sertifikat laik  fungsi.

(2)     Ketentuan     mengenai    persyaratan     dasar     Perizinan Berusaha sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1)  masing• masing diatur  dalam peraturan  perundang-undangan  di bidang  tata   ruang,   lingkungan  hidup,   dan  bangunan gedung.

Pasal 6

(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b.

(2)     Penyelenggaraan   Perizinan   Berusaha    Berbasis   Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  meliputi  sektor:

  1. kelautan dan perikanan;
  2. pertanian;
  3. lingkungan hidup dan kehutanan;
  4. energi  dan sumber daya mineral;
  5. ketenaganukliran;
  6. perindustrian;
  7. perdagangan;
  8. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
  9. transportasi;
  10. kesehatan,  obat,  dan makanan;
  11. pendidikan dan kebudayaan;
  12. pariwisata;
  13. keagamaan;
  14. pos,   telekomunikasi,   penyiaran,   dan   sistem   dan transaksi  elektronik;
  15. pertahanan dan keamanan;  dan
  16. ketenagakerjaan.

(3)     Perizinan Berusaha  Berbasis Risiko  pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengaturan:

  1. kode   KBLI/KBLI  terkait,  judul  KBLI,  ruang lingkup kegiatan,  parameter Risiko,   tingkat Risiko,  Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha;
  2. persyaratan dan/ atau kewajiban  Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;  dan
  4. standar  kegiatan usaha dan/ atau standar produk.

(4)     Kode    KBLI/KBLI    terkait,   judul   KBLI,   ruang   lingkup kegiatan, parameter Risiko,  tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu,  masa berlaku, dan   kewenangan Perizinan Berusaha  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a  tercantum  dalam  Lampiran  I   yang   merupakan bagian tidak  terpisahkan dari  Peraturan Pemerintah  ini.

(5)     Persyaratan   dan/atau    kewajiban   Perizinan   Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing  sektor sebagaimana dimaksud   pada   ayat   (3)    huruf  b    tercantum   dalam Lampiran  II  yang  merupakan  bagian  tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

(6)     Pedoman       Perizinan       Berusaha       Berbasis      Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3)  huruf c  tercantum dalam Lampiran  III yang merupakan  bagian tidak terpisahkan  dari Peraturan  Pemerintah ini.

Berita Terkait :  PP Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa Pasal 1-9

(7)     Standar    kegiatan    usaha   dan/ atau   standar   produk sebagaimana   dimaksud   pada   ayat  (3)   huruf  d  pada masing-masing sektor diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga.

(8)     Penyusunan  standar  kegiatan   usaha  dan/ atau  standar produk  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (7) dilakukan secara transparan, memperhatikan kesederhanaan persyaratan, dan kemudahan proses bisnis dengan melibatkan Pelaku U saha.

(9)     Penyusunan   standar   kegiatan  usaha   dan/ atau  standar produk     sebagaimana     dimaksud     pada     ayat     (8) dilaksanakan  berdasarkan  pedoman sebagaimana ditetapkan  dalam  Lampiran  IV  yang  merupakan  bagian tidak terpisahkan dari  Peraturan  Pemerintah ini.

(10) Peraturan     menteri/kepala      lembaga      sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan setelah mendapat persetujuan   Presiden  dan  berkoordinasi   dengan kementerian yang  menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi,   dan   pengendalian    urusan   kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

(11) Kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,  Administrator  KEK  dan Badan Pengusahaan KPBPB dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha di  luar  Perizinan Berusaha  yang   diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

(12)  Perizinan  Berusaha  Berbasis Risiko  pada masing-masing sektor dilakukan pembinaan dan Pengawasan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator   KEK,   atau  kepala   Badan   Pengusahaan KPBPB sesuai  kewenangan masing-masing.

BAB II PENGATURAN PERIZINAN BERUSAHA  BERBASIS  RISIKO

Bagian Kesatu Analisis  Risiko

Pasal  7

( 1)        Perizinan      Berusaha      Berbasis      Risiko        dilakukan berdasarkan   penetapan   tingkat  Risiko  dan   peringkat skala  kegiatan  usaha  meliputi   UMK-M  dan/ atau  usaha besar.

(2)     Penetapan  tingkat  Risiko   sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1)  dilakukan  berdasarkan hasil  analisis Risiko.

(3)    Analisis   Risiko  sebagaimana   dimaksud   pada   ayat  (2) wajib  dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan  prinsip  kehati-hatian  berdasarkan data dan/ atau penilaian profesional.

(4)     Tingkat   Risiko    sebagaimana  dimaksud   pada   ayat   (2) menentukan jenis Perizinan Berusaha.

Pasal 8

Pelaksanaan  analisis  Risiko    sebagaimana   dimaksud  dalam Pasal  7 dilakukan oleh  Pemerintah Pusat melalui:

  1. pengidentifikasian kegiatan  usaha;
  2. penilaian tingkat bahaya;
  3. penilaian potensi terjadinya bahaya;
  4. penetapan  tingkat Risiko dan peringkat  skala usaha;  dan e.       penetapan jenis Perizinan Berusaha.

Pasal 9

(1)    Penilaian  tingkat  bahaya  sebagaimana  dimaksud  dalam

Pasal  8 huruf b dilakukan terhadap aspek:

  1. kesehatan;
  2. keselamatan;
  3. lingkungan;  dan/ atau
  4. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.

(2)     Untuk kegiatan tertentu,  penilaian tingkat bahaya  dapat mencakup  aspek  lainnya  sesuai  dengan  sifat   kegiatan usaha.

(3)     Penilaian  tingkat  bahaya  sebagaimana  dimaksud  pada ayat      ( 1)              dan      ayat      (2)        dilakukan        dengan memperhitungkan:

  1.  jenis kegiatan usaha;
  2. kriteria kegiatan usaha;
  3. lokasi  kegiatan usaha;
  4. keterbatasan sumber daya;  dan/ atau
  5. Risiko volatilitas.

(4)     Penilaian     potensi     terjadinya     bahaya     sebagaimana dimaksud dalam Pasal  8 huruf c terdiri  dari:

  1. hampir tidak  mungkin terjadi;
  2. kemungkinan kecil  terjadi
  3. kemungkinan terjadi; atau
  4. hampir  pasti terjadi.

(5)   Penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  8  huruf d  diperoleh berdasarkan  penilaian  tingkat  bahaya dan  potensi terjadinya bahaya.

Pasal  10

( 1)       Berdasarkan  penilaian tingkat  bahaya,  penilaian potensi terjadinya  bahaya,   tingkat  Risiko,  dan   peringkat   skala usaha kegiatan usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan menjadi:

  1. kegiatan usaha  dengan tingkat Risiko  rendah;
  2. kegiatan  usaha   dengan  tingkat   Risiko    menengah; dan
  3. kegiatan  usaha dengan tingkat Risiko  tinggi.

(2)  Kegiatan  usaha  dengan  tingkat  Risiko   menengah sebagaimana dimaksud  pada ayat (1)  huruf b terbagi  atas:

  1. tingkat  Risiko  menengah rendah;  dan
  2. tingkat Risiko menengah tinggi.

Pasal  11

Mekanisme pelaksanaan analisis Risiko kegiatan  usaha sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   8    tercantum   dalam Lampiran  III yang merupakan  bagian  tidak  terpisahkan  dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 12

(1)     Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko   rendah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal   10 ayat  (1)   huruf a  berupa  NIB  yang merupakan  identitas Pelaku Usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha.

(2)     NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  untuk kegiatan usaha dengan tingkat  Risiko rendah  yang dilakukan  oleh UMK,  berlaku juga sebagai:

  1. Standar   Nasional    Indonesia    (SNI)     sebagaimana dimaksud  dalam peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi  dan  penilaian kesesuaian; dan/atau
  2. pernyataan  jaminan  halal   sebagaimana  dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan  produk halal.

Pasal  13

(1)     Perizinan Berusaha untuk  kegiatan usaha  dengan tingkat Risiko   menengah rendah  se bagaimana  dimaksud  dalam Pasal  10  ayat (2)  huruf a berupa:

  1. NIB;  dan
  2. Sertifikat Standar.

(2)     Sertifikat Standar  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) huruf   b    merupakan   legalitas    untuk   melaksanakan kegiatan  usaha  dalam  bentuk  pernyataan  Pelaku Usaha untuk    memenuhi      standar     usaha     dalam     rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem oss.

(3)     Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan,  operasional,  dan/atau  komersial  kegiatan usaha.

Bagikan: