Humaniora: Tangisan emak-emak pecah usai laksanakan Sa’i

Lely

Humaniora: Tangisan emak-emak pecah usai laksanakan Sa’i

Jakarta (PRESSRELEASE.CO.ID) – Seusai menjalankan ibadah sa’i, suara tangis terdengar dari mulut Sulis. Rupanya ia tak kuat menahan gejolak hatinya.

Tidak jelas apa penyebabnya. Tiba-tiba ibu yang bermukim di Jakarta Timur itu mengaku teringat akan perjuangan emaknya “membesarkan dirinya” hingga menjadi pejabat dan kini kembali menjadi manusia biasa di masyarakatnya. Kini, emaknya sudah tua, mendekati usia satu abad.

Ia berceloteh tentang ibadah sa’i di kawasan Masjidil Haram. Katanya, semua itu tak bisa lepas dari perjuangan perempuan. Perjuangan ibu terhadap anaknya tergambar dalam ritual sa’i.

Ceritanya itu dilatari kisah Nabi Ibrahim yang menempatkan isterinya di kawasan gurun pasir, gersang.

Setiap ritual haji atau umrah, ibadah sa’i menjadi bagian di dalamnya. Karena pada Ramadhan pahalanya seperti orang berhaji, maka banyak orang Islam menunaikannya, termasuk ibu Sulis. Hal itu sejalan dengan pendapat pata ulama.

Sa’i adalah berjalan kaki atau berlari-lari kecil, sebanyak tujuh kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Ritual ini bagian dari rukun umrah setelah tawaf. Jarak di antara dua bukit itu sekitar 450 meter sehingga dengan tujuh kali putaran, total mencapai sekitar 3,15 km.

Menurut beberapa sumber, sebelum 1955-1956 atau 1375 Hijriah, lokasi Bukit Shafa dan Bukit Marwah berada di luar area Masjidil Haram Mekkah. Lantas, otoritas setempat melakukan pembangunan dan merenovasi Masjidil Haram, sehingga kedua bukit tersebut masuk kawasan masjid.

Perbaikan terus berlanjut hingga kedua bukit itu kini lebih rapi ditutupi kaca tebal. Petunjuk arah bagi yang melaksanakan sa’i makin jelas, termasuk lampu di kawasan berlari kecil.

Pada Ramadhan 1444 H atau 2023 Masehi ini terjadi kepadatan di Masjidil Haram. Jadi, menjelang 10 hari terakhir Idul Fitri, masjid tersebut penuh sesak. Bisa jadi saat ibadah haji nanti kepadatannya akan luar biasa.

Ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam setelah memenuhi syarat istithoah.

Terkait dengan tinggi animo umrah, dapat dipastikan dilatarbelakangi berakhirnya pandemi COVIF-19 yang terjadi ada 2021-2022.

Menahan haru

Seusai tawaf, banyak peserta umrah, khususnya ketika menunaikan ibadah sa’i, tak kuasa menahan haru, termasuk di antaranya ibu Sulis tadi.

Berita Terkait :  Humaniora: Pesantren di Jombang ajak belajar Alquran lewat lukisan

Namun, bagi Fatimah, hal itu bisa saja terjadi karena menahan rasa lelah luar biasa berjalan di antara dua bukit, Shafa dan Marwah.

“Bukan itu alasannya. Ingat perjuangan isteri Nabi Ibrahim, Siti Hajar, ” jawab rekannya, Maimunah, dalam satu obrolan di pojokan Bukit Marwah.

Emak-emak asal Malaysia ini berbincang sambil beristirahat di pojokan dekat tiang yang berdekatan dengan Bukit Marwah. Mereka sebelumnya menunaikan ibadah sa’i dan berakhir di bukit itu. Seusai tahalul, mencukur rambut, mereka berkumpul.

Ibadah umrah meliputi mengenakan pakaian ihram, – dua helai kain putih, tawaf, sa’i dan tahalul. Hal itu disebut rukun umrah dan semua ritual itu diselesaikan dalam satu rangkaian dengan waktu selama sehari.

Diam-diam, kedua emak-emak itu mengusap air mata yang meleleh di pipinya. Pada awalnya nampak mereka berusaha menahan tangis. Tapi, pada akhirnya jebol juga.

Bagaimana isi obrolan para emak-emak seusai Sa’i itu? Mereka memaknai bahwa Siti Hajar yang ditempatkan di kawasan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim sebagai simbol keikhlasan seorang istri.

Ikhlas, bahwa Siti Hajar berada dan ditempatkan di kawasan gersang kala itu semata karena perintah Allah melalui suaminya Nabi Ibrahim AS.

Sebelumnya, Siti Hajar minta ketegasan dan penjelasan tentang penempatan dirinya yang tengah hamil di kawasan itu. Apakah semua itu atas perintah Allah?

Setelah diperoleh jawaban dari suami tercinta, Ibrahim AS, sang isteri Siti Hajar menerima dengan ikhlas.

“Kalau kita, ditinggal suami tujuh hari tanpa kabar bisa merajuk,” ujar Fatimah.

“Tapi kalau ditinggal karena suami selingkuh, enggak beri nafkah, pantaslah ngamuk. Minta cerai. Atau, gugat suami ke pengadilan,” sambung Maimunah menimpali suara rekannya yang meninggi.

Sungguh, obrolan emak-emak itu punya kaitan erat dengan kisah Siti Hajar dengan Nabi Ismail, putra dari Nabi Ibrahim, dan tersambung dengan sejarah kemunculan sumur zamzam, termasuk ibadah sa’i yang baru saja mereka kerjakan.

Menarik, dari celoteh kedua orang di dekat tiang bukit Marwah itu adalah adanya kesadaran emak-emak ini bahwa kesetiaan kepada suami, yang dicontohkan Siti Hajar, telah menjadi inspirasi akan pentingnya isteri mendukung perjuangan suami ketika menjalankan misi kenabian.

Berita Terkait :  Humaniora: Pameran artefak peninggalan Rasulullah SAW dan sahabat

Ibrahim AS yang dikenal sebagai nabi monotoisme, mengajarkan tentang pentingnya keesaan Allah. Ia bersama istrinya Hajar dan puteranya Ismail AS akan terus dikenang dan dijadikan teladan bagi seluruh umat hingga kini.

Kebanyakan, para suami, lepas dari pandangan mata istri cepat melakukan perbuatan tak terpuji. “Tak terpuji itu macam-macam. Bukan satu macam,” kata Fatimah sambil melempar tawa.

Maimunah menimpali rekannya. Katanya, banyak suami secara ekonomi bergantung kepada istri, tapi sehari-hari “bertingkah”.

“Suami seperti itu, termasuk orang tak bersyukur. Ya, gugat cerai saja,” jawabnya yang disambut tawa tipis anggota jamaah umrah dari Tanah Air.

Realita kehidupan memang unik. Kaum hawa selalu saja cemburuan dengan sesama jenis lantaran berbagai sebab. Bisa karena suami direbut wanita lain, atau suami bertingkah karena sudah kaya.

Sejatinya, seperti diungkap ulama, “surga” seorang istri itu berada di kaki suami, sedangkan surga suami terletak pada ibunya.

Sayang, banyak isteri cemburu kepada sesama, tapi tak pernah cemburu dengan bidadari yang menangis kala suami disakiti.

Banyak suami disakiti lantaran dilarang memberi uang ke ibunya. Isteri yang pelit.

Tangis para emak-emak yang berakhir dengan suasana riang itu sungguh merupakan wujud arti posisi seorang wanita terhadap suami. Mereka memahami perjuangan Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail harus diteladani umat Islam.

Air mata dari tangisan emak-emak ini memang bukanlah “air mata buaya”. Mereka sangat menghayati perjalanan sa’i sebagai ritual mengoreksi diri. Bagaimana posisi wanita sebagai ibu rumah tangga menghadapi zaman masa kini.

Beban perempuan di masa mendatang makin berat. Perempuan dituntut memuliakan suami hingga mengurus pendidikan anaknya.

Dunia demikian cepatnya berubah. Tanggung jawab suami pun tak cukup mencari nafkah, harta atau uang untuk anggota keluarga hingga orang tuanya. Di luar itu, memberikan pemahaman tentang akhlak sangat penting.

Pesan Siti Hajar lewat perjalanan sa’i mengandung makna mendalam. Emak-emak di masa mendatang masih harus merenungkan dan banyak belajar lagi melalui rangkaian ibadah tersebut.

*) Edy Supriatna Syafei adalah wartawan senior, pernah bekerja sebagai jurnalis di LKBN PRESSRELEASE.CO.ID hingga pensiun

 

Sumber: Antara.

Bagikan:

Tags