Beda zaman beda pengalaman. Meskipun begitu, hal yang tidak pernah berubah dari Ramadhan adalah nilai moral abadi yang mendasari.
Bondowoso (PRESSRELEASE.CO.ID) – Pada era 70-an, orang menikmati buka puasa dengan es serut dicampur sirup warna merah sudah terasa nikmat. Bagi anak muda zaman sekarang, mungkin cerita es serut itu terasa aneh. Es sirup tanpa isian aneka buah atau cincau dan lainnya, adalah pengalaman nikmat berbuka bagi lidah orang kebanyakan yang lahir pada akhir tahun 1960 atau awal 1970.
Penjualan aneka takjil zaman dulu tidak sesemarak saat ini. Kondisi ekonomi secara umum kala itu tentu berbeda dengan saat ini. Dulu, orang, khususnya masyarakat desa, sudah terbiasa makan seadanya, termasuk saat Bulan Ramadhan. Karena itu sajian berbuka dengan kolak pisang atau dawet hanya ada pada malam-malam ganjil sepertiga akhir bulan puasa. Dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “malam likuran”. Orang Madura menyebut “malem lekoran”. Di situlah nikmatnya takjil khas itu karena tidak setiap hari orang bisa menikmati menu spesial, kala itu.
Perbedaan masa kelahiran memang membawa implikasi pada corak beragama, dilihat dari fenomena sosialnya. Bagi generasi yang lahir pada era 60-an dan 70-an, suasana saat Ramadhan banyak juga yang menghadirkan makna hiburan, selain tentu aspek ibadah, sementara generasi kini, boleh jadi puasa hanyalah persoalan ritme dan perubahan pola makan. Zaman dulu, semarak orang tadarus yang diperdengarkan lewat pelantang suara dari masjid atau surau hingga pukul 3 dini hari menjadi hiburan malam di tengah suasana perdesaan yang sepi.
Masa muda generasi zaman dulu banyak dihabiskan di tempat ibadah, seperti kebiasaan tadarus atau membaca Al Quran bersama di masjid, langgar atau mushalla. Di luar Ramadhan, generasi dulu biasa belajar ngaji setelah magrib hingga isya di masjid. Mereka biasanya menginap di masjid, langgar, atau mushalla karena besoknya, setelah shalat Subuh dilanjutkan kembali belajar ngaji hingga Matahari terbit. Saat Ramadhan, kebiasaan itu berubah dengan tadarus setelah shalat Isya dan Tarawih.
Anak-anak zaman dulu pulang tengah malam dari masjid atau langgar menyusuri jalanan gelap karena penerangan listrik belum ada, menjadi pengalaman indah untuk dikenang. Perjalanan pulang di malam buta itu terkadang diwarnai dengan saling berlarian ketika di antara mereka ada yang iseng menakut-nakuti.
Mengenai tadarus di masjid, ini juga menjadi ajang “ekspresi diri”, meskipun secara agama, fenomena ini bisa dicap sebagai riya atau pamer. Akan tetapi, tinggalkan dulu penghakiman itu. Ini dunia anak yang masih “haus” apresiasi. Orang, khususnya anak-anak, yang boleh ikut tadarus dengan bacaan yang diperdengarkan ke berbagai penjuru itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah fasih dalam bacaan Al Quran. Ketentuan tak tertulis seperti itu memberi motivasi bagi semua anak untuk memacu diri agar segera fasih mengaji. Harapannya, tahun depan bisa diperbolehkan mengaji bersama saat Ramadhan tiba.
Karena minimnya sarana hiburan, maka ajang tadarus bersama itu menjadi sarana hiburan bagi anak zaman dulu. Kalau kini setiap anak datang ke masjid untuk shalat Tarawih lalu tadarus, dibekali kertas untuk ditandatangani oleh imam shalat, sebagai tugas dari sekolah, tradisi seperti itu di zaman dulu tidak ada. Anak-anak zaman dulu tidak perlu motivasi dengan bukti tanda tangan dari takmir masjid atau imam shalat, karena lingkungan sosial sudah “mewajibkan” semua anak untuk bersama-sama datang ke masjid. Bagi yang tidak ikut pergi tarawih akan menjalani masa sepi di rumah. Rasa kesepian itu merupakan “hukuman” bagi jiwa secara otomatis tanpa ada tindakan penghakiman dari pihak luar.
Kenyataan ini membawa konsekuensi ringannya beban orang tua dalam mengarahkan anak untuk belajar menjalani perintah agama. Tidak ada metode khusus karena lingkungan sudah mendukung ke arah kebiasaan yang sama.
Soal ngabuburit, generasi dulu lebih banyak menjalani budaya itu tanpa modal. Setelah shalat Asar, mereka cukup hadir ke tempat biasa bersama temannya berkumpul, dengan hiburan ngobrol berbagai hal, tanpa diganggu gawai. Biasanya mereka berkumpul di pinggir jalan atau cukup bermain olahraga, seperti bola voli dan lainnya. Beberapa menit sebelum kumandang azan Magrib, mereka pulang ke rumah masing-masing untuk berbuka di rumah. Sementara generasi saat ini, ngabuburit biasanya mensyaratkan modal untuk nongkrong di kafe atau tempat lain yang identik dengan membeli makanan untuk berbuka.
Di sisi lain, generasi sekarang juga tidak sedikit yang menghabiskan ngabuburit dengan bermain gawai sambil rebahan di kamarnya.
Masih soal makanan, generasi dulu, memiliki momen yang selalu ditunggu, terutama pada akhir-akhir bulan puasa, yakni selamatan khatam Al Quran dari tadarus bersama. Mereka biasanya urunan Rp1.000 per orang. Uang yang terkumpul, oleh panitia kemudian dibelikan daging dan masakannya dinikmati bersama. Lagi-lagi, remaja masa kini mungkin akan kesulitan mengakses rasa nikmat dari selamatan itu, yakni makan bersama hanya dengan suguhan nasi dan lauk daging berkuah. Kehidupan serba kekurangan tidak mensyaratkan banyak hal bagi masyarakat yang hidup di zaman itu untuk memperoleh nikmat bahagia.
Beda zaman beda pengalaman. Meskipun begitu, hal yang tidak pernah berubah dari Ramadhan adalah nilai moral abadi yang mendasari. Ramadhan, baik bagi generasi zaman dulu maupun sekarang, sama-sama mengajarkan kepedulian kepada sesama. Berlapar-lapar pada siang hari mengajarkan pelakunya untuk merasakan bagaimana rasanya orang hidup kekurangan, tidak mudah memenuhi kebutuhan perut. Puasa yang melarang umatnya makan dan minum serta hal-hal lain yang tidak boleh dikerjakan pada siang hari, mendidik umat untuk bersabar menghadapi semua wujud keadaan.
Pendidikan jiwa lewat puasa itu kemudian disempurnakan dengan kewajiban membayar zakat fitrah bagi setiap individu mampu. Pembersihan jiwa selama kurang lebih 30 hari diikuti dengan pembersihan harta benda lewat zakat fitrah.
Pada akhir Ramadhan, semua generasi ini, sama-sama berharap masuk dalam golongan orang-orang yang meraih kemenangan.
Sumber: Antara.