MEMPERINGATI Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2021 ini, sudah saatnya kita melakukan evaluasi kritis terhadap eksistensi ideologi negara ini. Benarkah Pancasila sebagai ideologi negara masih sakti, masih kukuh, dan mampu menjaga serta menyelamatkan negara ini dari berbagai ancaman, baik laten maupun manifes. Apakah Pancasila masih menjadi ideologi negara dan masyarakatnya?
Mengutip pernyataan keprihatinan Buya Syafi’i Ma’arif (2009: 196–197), sebagaimana dikutip oleh Hariyono, Pancasila yang hanya dimuliakan dengan kata, tetapi dikhianati dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa ini. Sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat yang adil dan makmur akan semakin menjauh saja (Hariyono, 2014: 12).
Pada peringatan Hari (Lahir) Pancasila 1 Juni 2011, mantan Presiden RI B.J. Habibie membacakan pidato yang begitu menyentuh. Menurut dia, sebagai ideologi negara, Pancasila tak ubahnya seperti sebuah kata-kata yang diucapkan ketika upacara saja. Pancasila mulai dilupakan.
Kondisi itu, menurut Habibie, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah, baik di tingkat domestik, regional, maupun global. Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini.
Kedua, terjadinya euforia reformasi sebagai akibat trauma masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu (baca: Orde Baru) yang mengatasnamakan Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai instrumen politik yang menekankan pada moralitas sosial dan institusional sehingga menjadi alasan pembenar (justification) kerjanya ”abuse of power” untuk melindungi kepentingan penguasa.
Lalu, generasi reformasi sangat bersemangat untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu. Hal tersebut berimplikasi pada munculnya ”amnesia nasional” tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai norma dasar yang mampu menjadi payung.
Pancasila kerap dijadikan ”mantra dan pajangan” dalam berbagai kegiatan formal kenegaraan. Namun, sebenarnya nilai-nilai dasar Pancasila tidak mewujud secara riil dalam pola perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dan yang lebih parah lagi, tidak adanya keteladanan dari para pemimpin negeri ini. Justru para pemimpin negeri ini kerap kali menjadi masalah dan sumber masalah negeri ini.
Di tengah problematika bangsa yang kompleks seperti sekarang ini, sudah saatnya kita dan terutama para penyelenggara negara melakukan pembumian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara riil serta konsisten. Bahkan, tak sekadar pembumian, dalam bahasa Yudi Latif (2015), kita perlu melakukan apa yang disebut sebagai revolusi Pancasila. Yakni ikhtiar perubahan mendasar (secara akseleratif) pada sistem sosial (meliputi ranah material, mental, dan politikal) berlandasan prinsip-prinsip Pancasila dalam usaha mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, serta adil dan makmur (materiil dan spirituil).
Adanya revolusi Pancasila dengan sendirinya menjawab problematika hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Problematika HAM Indonesia perlu dijawab dengan ”obat mujarab” HAM Pancasila. HAM yang bercita rasa keindonesiaan (nasionalisme dan religiusitas). HAM Pancasila yang sesuai dengan karakter serta kepribadian bangsa dan rakyat Indonesia.
Sebagai salah satu nilai kebangsaan, Pancasila adalah pengikat. Pancasila menjadi dasar kesatuan bangsa Indonesia yang dibayangkan (imagined). Dengan melampaui sekat-sekat perbedaan agama, ras, dan lainnya, Pancasila menjadi satu kekuatan peneguh dan pemersatu. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, juga ajaran agama lainnya.
Misalnya sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama itu menjadi dasar spiritualitas dan moral bangsa, baik dalam konteks kehidupan kebangsaan maupun keumatan. Diterimanya Pancasila sebagai konsensus politik pengaturan kehidupan bersama antarkelompok agama, golongan, dan suku bangsa merupakan keistimewaan tersendiri.
Fenomena tersebut mirip dengan kontrak sosial Piagam Madinah di zaman Rasulullah SAW. Spirit yang terbangun adalah persaudaraan, penghargaan atas perbedaan, pengakuan akan keberagaman, dan penekanan pada kebebasan beragama serta berkeyakinan. Dua produk itu dilahirkan dari ikhtiar suatu bangsa untuk hidup berdampingan, merajut persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (unity in diversity, diversity in unity) (Muladi, 2012: 217-218).
Dengan kata lain, dalam konteks perlindungan, pelaksanaan, dan penegakan HAM, peran Pancasila sebagai ideologi negara secara utuh sebagai ”margin of appreciation” sangat diharapkan. Satu-satunya jalur yang diberdayagunakan adalah hukum sebagai instrumen perjuangan demokrasi, proses pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement), dan kesadaran hukum. Semua itu diharapkan dapat mendayagunakan Pancasila sebagai ”screening board” dalam pelembagaan nilai-nilai universal, termasuk nilai-nilai universal HAM dan domestik menjadi nilai-nilai yang diakui secara nasional (Muladi, 2012: 217-218).
Dengan kata lain, kita membutuhkan sistem hukum yang lebih responsif, yang digali dari jati diri bangsa kita sendiri, di mana sistem hukum itu dapat dijadikan sebagai instrumen dalam menegakkan demokrasi dan HAM. Dengan demikian, partikularisme HAM Indonesia adalah perumusan, pelaksanaan, dan penegakan HAM yang didasarkan dan dijiwai oleh nilai-nilai keindonesiaan yang berfalsafah Pancasila. Yakni HAM berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan. (*)
*) UMAR SHOLAHUDIN, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Berita telah di terbitkan oleh Sumber Berita